Tepung bulu ayam (TBA) (Feather Meal) sudah lama digunakan sebagai bahan baku sumber protein dalam formulasi pakan unggas dan spesies ternak / akua lainnya. Realitas pertumbuhan industri pakan ternak terus meningkat untuk menopang kenaikan tingkat konsumsi daging ayam dan telur secara nasional. Selanjutnya permintaan akan bahan baku yang bisa diproduksi secara lokal di antaranya local feather meal / tepung bulu ayam (TBA) mempunyai peluang besar untuk bisa dikembangkan.
Khususnya TBA yang mempunyai korelasi positip dengan jumlah populasi ayam pedaging karena semakin banyak jumlah pemotongan ayam semakin tersedia limbah bulu ayam yang dapat dioleh menjadi TBA. Kendala produksi local feather meal cukup banyak di antaranya pengadaan bahan baku yang harus kontinu. Sementara saat ini tidak semua ayam dipotong di RPA dan peranan rumah potong skala rumah tangga masih dominan. Di lain pihak proses produksi yang kurang sempurna bisa berakibat rendahnya kecernaan protein dan asam amino dari produk tersebut.
Dalam pakan unggas, ruminan dan bahkan pakan akua, TBA (local feather meal) adalah sumber protein yang baik yang mampu menggantikan sekian persen sumber protein lainnya. Kandungan proteinnya berkisar 80,0 % dan tingkat ketersediaan nyata asam amino nya (TAAA) bisa mencapai 80 % dengan kandungan enerji metabolis 3250 kcal/kg berdasarkan riset Universitas Georgia. Penelitian pada hewan ruminansia TBA menyediakan by-pass protein. Meningkatkan persentase lean (daging tanpa lemak) pada karkas broiler dan babi.
Contents
- 1 Kebutuhan Local Feather Meal
- 2 Perkembangan Suplai dan Harga Feather Meal di AS Periode 2008 – 2013
- 3 Perkembangan Ekspor Feather Meal AS (Ton) ke Berbegai negara Tahun 2009 – 2014
- 4 TBA untuk Pupuk dan Biodisel
- 5 Kendala Kualitas Kecernaan Local Feather Meal
- 6 Metoda Produksi Local Feather Meal
- 7 Proses Hydrolisis Produksi TBA
- 8 Komposisi 4 Sampel TBA Berbeda Proses Produksi
- 9 Metoda Kimia, Fermentasi dan Enzimatik TBA
- 10 Proses Fermentasi
- 11 Indikator Kualitas Tepung Bulu Ayam (Local Feather Meal)
- 12 Indikator Nilai Nutrisi TBA Hydrolized pada Lama Waktu Konstan 36 Menit dan Tekanan Berbeda
- 13 Indikator Nilai Nutrisi TBA Hydrolyzed pada Densitas Konstan dengan Waktu dan Tekanan Berbeda
- 14 Penggunaan TBA (Local Feather Meal) dalam Pakan
- 15 Analisa TBA
- 16 Perbandingan Komposisi Asam Amino TBA dan SBM
- 17 Kesimpulan Pemanfaatan Local Feather Meal
- 18 Daftar Pustaka
Kebutuhan Local Feather Meal
Dengan asumsi tingkat penggunaan TBA di dalam pakan rata – rata bisa mencapai 3 % maka diperkirakan kebutuhan local feather meal setiap tahunnya mencapai 450.000 ton. Jumlah yang sangat banyak dan tidak mungkin terpenuhi sehingga TBA seringkali menjadi barang langka. Sehingga formulasi tidak menggunakannya. Indonesia merupakan negara importir terbesar untuk produk komoditi protein hewani (MBM, PMM, TBA) asal Amerika Serkat sejumlah 225.000 ton di tahun 2014. Turun sebanyak 4 % dibandingkan tahun sebelumnya. Khusus untuk TBA, tahun 2014 Indonesia melakukan impor sebanyak 99.000 ton dari AS. Jumlah itu turun 10 % dibandingkan besaran impor tahun 2013.
Perkembangan Suplai dan Harga Feather Meal di AS Periode 2008 – 2013
Parameter | 2009 | 2010 | 2011 | 2012 | 2013 | 2014 | 2013/14 |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Konsumsi (000 ton) | 532,9 | 554,6 | 545,7 | 515,8 | 437,8 | 772 | +10,0 % |
Konsumsi (000 ton) | 532,9 | 554,6 | 545,7 | 515,8 | 437,8 | 625,2 | +1,4 % |
Harga (US$/ton) | 594 | 540 | 565 | 715 | 701 | 459,2 | +4,9 % |
Ekspor (000 ton) | 53,3 | 48,9 | 62,8 | 92,2 | 178,8 | 166,0 | -7,2 % |
Sumber : Kent Swisher. Market Report . 2015 |
Perkembangan Ekspor Feather Meal AS (Ton) ke Berbegai negara Tahun 2009 – 2014
Negara | 2009 | 2010 | 2011 | 2012 | 2013 | 2014 | 2013/14 |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Chili | 0 | 0 | 13.697 | 25.667 | 52.972 | 48.135 | -9,1% |
Ekuador | 557 | 150 | 0 | 0 | 0 | 296 | - |
Indonesia | 42.207 | 36.131 | 36.011 | 46.929 | 110.087 | 98.990 | -10,1% |
Kanada | 6.311 | 9.497 | 11.632 | 17.035 | 8.961 | 16.227 | +81,1% |
Kosta Rika | 65 | 0 | 0 | 0 | 51 | 440 | +762,7% |
Panama | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 | 400 | - |
Tiongkok | 0 | 0 | 0 | 0 | 183 | 1.265 | +591,3% |
Total | 53.340 | 48.924 | 62.791 | 92.195 | 178.815 | 165.952 | -7,2% |
Sumber : Kent Swisher. Market Report . 2015 |
TBA untuk Pupuk dan Biodisel
TBA merupakan limbah pemotongan unggas yang tinggi kandungan proteinnya (> 80 %). Selain itu kadar N yang tinggi memungkinkannya potensial untuk digunakan sebagai pupuk tanaman karena pelepasan nitrogennya berlangsung lambat. Di samping kegunaan utama sebagai bahan baku pakan ternak.
Meskipun masih dalam taraf penelitian, TBA bisa diubah menjadi biodiesel dengan menggunakan metoda baru yaitu dengan cara mengekstraksi bahan lemaknya menggunakan air mendidih dan selanjutnya lemak diubah menjadi biodiesel. Setelah lemak dikeluarkan dari TBA maka kandungan nitrogen akan menjadi lebih meningkat dan kualitas TBA sebagai bahan baku diharapkan menjadi jauh lebih baik.
Kendala Kualitas Kecernaan Local Feather Meal
Kebanyakan spesies mulai dari unggas, ternak besar sampai akuakultur menggunakan tepung bulu ayam (termasuk local feather meal) di dalam formulasinya, tetapi terbatas dalam persentase yang rendah. Penyebabnya adalah kualitas TBA mempunyai variasi yang besar tergantung pada cara proses pembuatannya. Ada 2 permasalahan utama yaitu (1) kandungan protein yang tinggi tetapi sulit dicerna khususnya oleh ternak non ruminansia. Akibat keberadaan struktur keratin yang kompleks (protein keratin yang mempunyai ikatan sistindisulfid). Dan (2) tidak seimbangnya kandungan asam amino. Di mana terdapat defisiensi methionine dan lysine tetapi sangat tinggi kandungan sistin, arginin dan threonine.
Ketidakseimbangan asam amino sudah merupakan faktor alami dan sulit diubah tetapi merupakan masalah sederhana dalam teknik formulasi karena unsur kebutuhan asam amino ternak bisa dipenuhi dengan penggunaan lebih banyak jenis bahan baku yang bisa saling menutupi satu sama lain. Sedangkan tingkat kecernaan local feather meal yang rendah masih bisa diperbaiki melalui pendekatan teknik proses produksi.
Kebanyakan produksi TBA menggunakan metoda hydrothermal yang pada intinya bulu akan dimasak dengan tekanan tinggi pada suhu yang tinggi. Ada 2 faktor kritis dalam proses pembuatan TBA yaitu tekanan dan waktu. Kedua faktor itu akan menentukan kualitas akhir dari TBA yaitu kualitas asam amino dan tingkat kecernaannya.
Diketahui ada banyak metoda dan banyak mesin yang bisa dpilih untuk digunakan sehingga dapat menyebabkan variasi / perbedaan kualitas TBA (local feather meal) antar produsen. Bahan baku yang digunakan meskipun terbatas pada bulu tetapi mutunya bisa berbeda karena bulu merupakan barang limbah sehingga kualitas kalah penting dibandingkan kuantitas. Lagipula jumlah RPA tersebar serta juga limbah bulu yang berasal dari usaha pemotongan ayam skala rumahan, tidak memungkinkan untuk memperoleh bahan baku yang seragam kualitasnya dan mempengaruhi komposisi bahan baku untuk pembuatan TBA.
Metoda Produksi Local Feather Meal
TBA terhidrolisis didefinisikan oleh AAFCO sebagai produk hasil dari perlakuan bertekanan terhadap bahan bulu segar, bersih, tidak busuk, bebas dari aditif dan yang diperoleh dari rumah potong unggas. Proses produksi pengolahan bahan limbah ternak / unggas untuk dijadikan sumber protein biasa disebut sebagai rendering. Ini melibatkan proses fisik dan kimia (panas, tekanan dan ekstraksi kadar air). Yaitu dengan alat pemasak yang dilengkapi pembungkus (jacket) untuk uap panas (steam) yang bertekanan untuk memanasi dan menghidrolisis serta mensterilkan bulu.
Pada jenis alat yang berbeda misalnya bisa melakukan produksi batch per batch atau bersambungan (kontinu). Suhu di dalam alat pemasak bisa mencapai 140 oC dan dikombinasikan dengan tekanan uap panas sebesar 30 – 45 PSI akan menghidrolisis protein serta memecah ikatan – ikatan kimia dari struktur bulu. Lama proses per batch berkisar 30 – 60 menit. Apabila tekanan yang diberikan lebih rendah 30 PSI maka waktu proses akan berlangsung lebih lama dan sebaliknya. Perbedaan kondisi proses seperti lama waktu, suhu, tekanan dan tingkat kelembaban akan menentukan tingkat kecernaan produk akhir.
Proses Hydrolisis Produksi TBA
Metoda hydrothermal tetap yang paling popular untuk produksi tepung bulu (termasuk local feather meal). Di mana bulu mentah dimasak pada tekanan tinggi dan suhu tinggi (menggunakan steam). Penggunaan suhu tinggi sudah lebih dari cukup untuk membunuh bakteri, virus dan banyak mikro organisme lainnya. Sehingga produk akhir bisa lebih higienis. Kerugiannya suhu tinggi dan proses yang terlalu lama bisa menyebabkan protein terdenaturasi yang menurunkan kecernaannya.
Proses hydrolisis selain dengan larutan asam HCl, beberapa menggunakan larutan alkali 1 % Ca(OH)2 atau 6 % Na(OH). Setelah proses hydrolisis dilanjutkan dengan autoclave dengan tekanan 15 PSI selama 20 menit lalu dikeringkan dalam oven untuk selanjutnya digiling untuk mengurangi ukuran partikel dan agar lebih seragam.
Setelah melalui proses hidrolisis, bahan yang sudah diproses dikeringkan menggunakan steam dryer untuk mengurangi kadar air yang meningkat selama proses hidrolisis sebelumnya. Material yang meninggalkan steam dryer masih panas. Selanjutnya menjalani proses pendinginan sebelum digiling menggunakan hammer mill untuk mengurangi ukuran dan mendapatkan ukuran yang sama. Berikutnya dilakukan pemisahan ukuran di mana material yang masih memiliki ukuran lebih besar 5 mm akan menjalani proses penggilingan kedua.
Komposisi 4 Sampel TBA Berbeda Proses Produksi
Komponen | Sampel | |||
---|---|---|---|---|
1 (40 PSI 50 menit) | 2 (40 PSI 50 menit) | 3 (40 PSI 20 menit) | 4 (100 PSI 3 menit) | |
Protein Kasar (%) | 78,5 | 74,6 | 87,4 | 80,5 |
Lemak Kasar (%) | 11,3 | 12,7 | 1,2 | 5,1 |
Kadar Air (%) | 3,5 | 5,7 | 6,7 | 7,9 |
Abu (%) | 4,7 | 5,0 | 2,7 | 2,5 |
Kalsium (%) | 0,8 | 1,3 | 0,2 | 0,5 |
Fosfor (%) | 0,3 | 0,6 | 0,1 | 0,2 |
Sumber : Bielorai et al., 1982 |
Metoda Kimia, Fermentasi dan Enzimatik TBA
Selain metoda produksi secara fisik, pengolahan tepung bulu ayam bisa dikerjakan dengan cara proses kimia menggunakan asam dan basa, proses fermentasi serta metoda enzymatik. Proses kimia dilakukan secara sederhana yaitu bahan mentah bulu ayam direbus biasa untuk menghilangkan kandungan lemak yang masih menempel di permukaan bulu. Sebelumnya bulu dicuci air bersih. Bulu direndam dalam larutan 12 % HCl untuk memutuskan ikatan rantai keratin. Bahan kemudian dicuci dan dibilas bersih kembali dan dikeringkan untuk mengurangi kadar airnya.
Penggunaan enzyme untuk memecah ikatan kompleks keratin mulai banyak dikembangkan sebagai solusi atas efek negatip proses hydrothermal yang merusak methionin, lysine, tirosin, triptphan dan tingkat kecernaan yang masih rendah sehingga produk akhirnya berkualitas lebih rendah. Degradasi bulu menjadi tepung bulu dengan proses fermentasi oleh mikroba juga dianggap masih jauh dari sempurna. Kultur bacteria menggunakan strain themophilic / mesopilic seperti Bacillus, Streptomyces, Vibrio, dan Chryseobacterium.
Proses Fermentasi
Selama proses fermentasi oleh bakteri, asam asam amino esensial digunakan oleh mikro organisme tersebut sehingga berakibat menurunnya nilai nutrisi dari produk tepung bulu. Sejenis protease yaitu enzyme keratinase yang diperoleh dari Bacillus licheniformis ER-15 diamati dalam skala percobaan mampu mendegradasi 100 % bulu menjadi tepung bulu. Spesies Bacillus memproduksi sejumlah enzyme hidrolitik di antaranya keratinase yang mampu mendegradasi rambut, wol dan bulu. Bahan bulu yang sudah dcuci bersih dengan deterjen, dikeringkan selama 6 jam pada suhu 80 oC selanjutnya di autoclave pada tekanan 15 PSI selama 15 menit di dalam larutan penyangga phosphate pH 8.
Selanjutnya ditambahkan larutan enzyme keratinase (1000 – 1200 U) dan disimpan dalam labu yang berputar 150 rpm pada suhu 50 oC selama 12 jam. Berdasarkan hasil anaisa CHN (carbon, hydrogen, nitrogen) dan profil asam amino dibandingkan dengan metoda lain pemasakan dengan steam, hidrolisis asam maka metoda enzymatik keratinase memberikan profil asam amino yang lebih kaya.
Indikator Kualitas Tepung Bulu Ayam (Local Feather Meal)
Sebagai sumber protein, TBA pada umumnya mengandung protein > 80 % meskipun seringkali aktualnya di kisaran > 75 %. Kualitas TBA diukur dari kelarutannya dalam larutan 0,2 % larutan pepsin (Metoda AOAC, 1994). Pepsin digestibility merupakan metoda in vitro untuk mengindikasikan kualitas protein untuk produk hasil proses rendering.
Metoda in vitro mengupayakan korelasi erat dengan hasil pengukuran kecernaan secara in vivo. Metoda terakhir melalui percobaan pemberian pakan dengan unggas hidup jelas membutuhkan biaya dan waktu yang lama. Dalam in vitro, sampel akan diinkubasi dengan enzyme pepsin di bawah kondisi yang terkendali. Di mana protein tidak dicerna akan dipisahkan dari asam amino dan peptida yang dihasilkan. Selanjutnya jumlah protein tercerna bisa dihitung.
Indikator Nilai Nutrisi TBA Hydrolized pada Lama Waktu Konstan 36 Menit dan Tekanan Berbeda
Indikator (as is basis) | Tekanan (kPa) | SEM | |||
---|---|---|---|---|---|
207 | 310 | 414 | 517 | ||
Densitas (kg/m3) | 375 | 485 | 563 | 584 | 14** |
Sulfur (%) | 2,38 | 2,14 | 1,99 | 1,85 | 0,03** |
0,2 % PDP (%) | 70,4 | 86,2 | 91,3 | 93,8 | 1,3** |
0,002 % PDP (%) | 19,4 | 14,9 | 38,0 | 43,7 | 5,5** |
ADF (%) | 57,0 | 33,1 | 18,6 | 13,9 | 2,6** |
ADSP (%) | 49,0 | 70,2 | 82,7 | 87,5 | 2,3** |
Sumber : JS Moritz and JD Latshaw, 2001 | |||||
** berbeda nyata P<0,01 | |||||
PDP = pepsin digestible protein; ADF = acid detergent fiber; ADSP = acid detergent soluble protein, N x 6,25) |
Indikator Nilai Nutrisi TBA Hydrolyzed pada Densitas Konstan dengan Waktu dan Tekanan Berbeda
Indikator (as is basis) | Tekanan (kPa) | SEM | |||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
207 | 310 | 414 | 517 | 621 | 724 | ||
Waktu (menit) | |||||||
106 | 36 | 18 | 12 | 8 | 4,5 | ||
Densitas (kg/m3) | 475ab | 485ab | 516a | 457b | 516a | 470ab | 14 |
Steam (L H2O) | 16,3a | 9,2b | 7,2b | 7,2b | 6,8b | 6,3b | 1,3 |
0,2% PDP (%) | 82,1 | 86,2 | 86,5 | 85,1 | 87,7 | 84,9 | 1,3 |
0,002% PDP (%) | 13,8 | 14,9 | 14,0 | 13,3 | 13,9 | 12,1 | 5,5 |
ADF (%) | 48,8a | 33,1b | 25,9bc | 21,9c | 21,3c | 34,7b | 2,8 |
ADSP (%) | 56,1e | 70,2cd | 77,4abc | 80,5ab | 81,0a | 68,9d | 2,3 |
Sumber : JS Moritz and JD latshaw, 2001 | |||||||
a-e : pada baris yang sama berbeda huruf berbeda P<0,05 | |||||||
PDP = pepsin digestible protein; ADF = acid detergent fiber; ADSP = acid detergent soluble protein, N x 6,25 |
Mengevaluasi protein TBA berdasarkan tingkat kecernaannya oleh pepsin dan pankreatin. Terhadap TBA pada umumnya digunakan konsentrasi kelarutan pepsin 0,2 %. Dengan tingkat konsentrasi kelarutan 0,2 % diperoleh nilai kecernaan protein yang besar tetapi sebenarnya mempunyai korelasi yang buruk antara in vitro terhadap in vivo (nilai penyerapan nitrogen ileum). Nilai penyerapan sampel – sampel TBA berkisar 48 – 53 %. Dan itu setara dengan jika diukur menggunakan kelarutan 0,002 % pepsin. Pada pengukuran dengan kelarutan 0,0002 % diperoleh kecernaan protein lebih kecil lagi yaitu 25 %. Konsentrasi yang lebih rendah lebih peka terhadap variasi kecernaan yang kecil.
Kualitas protein TBA dikatakan baik apabila kelarutannya > 75 % pada konsentrasi larutan 0,2 %. Apabila diinginkan pengukuran yang lebih akurat lagi maka digunakan 0,002 % larutan pepsin. Penurunan nilai kecernaan protein berdasarkan tingkat kelarutan pepsin tidak terjadi bahan baku sumber protein lain. Seperti SBM dan Tepung Ikan, nilai kecernaan nya tidak banyak berubah dari 85 % meskipun digunakan larutan 0,0002 % pepsin.
Penggunaan TBA (Local Feather Meal) dalam Pakan
Sebagai sumber protein maka local feather meal dirancang untuk bisa mensubstitusi bahan baku konvensional sumber protein terutama soybean meal. Meskipun dalam kualitas asam amino yang tidak seimbang dan sangat tergantung pada kualitas proses produksinya tetapi banyak penelitian membuktikan bahwa TBA (termasuk local feather meal) dapat digunakan secara aman dan berkontribusi secara ekonomis. Dalam penelitian Oschetim (1993) menggunakan 160 ekor broiler Arbor Acres. Dipelihara sampai 8 minggu, dengan 4 perlakuan level penggunan TBA 0, 1.5, 3.0 dan 4.5 % dalam pakan.
Analisa TBA
Parameter | Hasil Analisa | Parameter | Hasil Analisa |
---|---|---|---|
Abu | 4% | TME n (MJ/kg) | 12,8 |
Bahan kering | 90% | Serat kasar | 0,6% |
Kecernaan protein | Min 75% | Meth + Cystine | 4,9% |
Lemak | 6% | TME n (kcal/kg) | 3.070 |
Protein kasar | 82% | Lysine av | 1,8% |
Sumber : Ewing, 1997 |
Bulu diproses secara sederhana, direbus dalam air selama 30 menit, dikeringkan matahari dan digiling menggunakan saringan 2 mm. Kandungan protein TBA dan SBM yang digunakan berurutan 85,6% dan 45,8% (tabel 6). Setelah 8 minggu, berat badan akhir antara perlakuan 0%, 1.5% dan 3.0% tidak berbeda nyata. Sedangkan penggunaan TBA 4,5% mempunyai berat panen lebih rendah dan konversi pakan lebih jelek. Bisa disimpulkan bahwa local feather meal aman digunakan sampai level 3,0% atau setara mensubstitusi SBM 6 % di dalam pakan broiler. Teknologi produksi local feather meal dalam tahun belakangan ini sudah pasti memberikan hasil yang jauh lebih baik dibandingkan proses sederhana TBA tersebut.
Perbandingan Komposisi Asam Amino TBA dan SBM
Asam Amino | TBA | SBM | Asam Amino | TBA | SBM |
---|---|---|---|---|---|
Alanine | 2,62 | 1,95 | Methionin | 0,32 | 0,58 |
Arginin | 4,40 | 3,16 | Phenylalanine | 3,18 | 2,26 |
Asam Amino (mg/16gN) | Lysine | 2,26 | 2,75 | ||
Asam Glutamat | 6,90 | 7,53 | Threonin | 2,47 | 1,82 |
Aspartic Acid | 3,42 | 5,40 | Proline | 6,81 | 2,28 |
Cystin | 6,40 | 0,43 | Serine | 5,72 | 2,76 |
Glisin | 4.20 | 1,95 | Tyrosin | 1,79 | 1,66 |
Histidin | 0,53 | 1,06 | Valin | 4,13 | 2,28 |
Isoleucine | 3,00 | 2,11 | |||
Protein (N*6,25%) | 85,6 | 45,8 | Leucine | 5,43 | 3,46 |
Sumber : S. Ochetime. 1993 |
TBA merupakan sumber TSAA (total sulphur amino acid) sehingga penggunaannya dalam khususnya pakan broiler akan sangat membantu. Mengingat formulasi corn – soya biasanya defisien terhadap methionin dan cystine. Dalam suatu percobaan pakan broiler isokalori (12,272 MJ/kg) dan iso protein (24,2%) dengan 3 perlakuan penggunaan bahan baku sumber protein yaitu corn – soya, 5 % tepung ikan dan 5 % TBA (local feather meal). Untuk mempertahankan penyediaan TSAA yang sama antara ketiga perlakuan (0,857%) maka diperlukan penambahan methionin masing – masing 0,1%; 0,04%; 0,075%. Setelah umur 8 minggu, berat badan dan FCR tidak berbeda nyata antara ketiga perlakuan.
Kesimpulan Pemanfaatan Local Feather Meal
TBA dapat digunakan untuk mensubstitusi SBM dan digunakan sampai 6 % di pakan starter dan 4,1 % di pakan finisher. Tanpa memberikan efek yang merugikan terhadap berat badan dan FCR. Pengamatan lain memperlihatkan bahwa TBA (local feather meal) yang digunakan pada level 4 – 6 % selama 7 – 14 hari sebelum dipotong akan menghasilkan penurunan yang nyata terhadap lemak perut (abdomen). Tanpa berpengaruh jelek terhadap berat panen dan FCR (Cabel et al, 1986).
Daftar Pustaka
- Majalah Poultry Indonesia. Vol X. Agustus 2015. Hal 88 – 91.
- Arvind Soni Sagar. Feather Meal and It’s Nutritional Impact. Poultry World. 2017