Variabilitas Jagung dalam Pakan

Dalam praktek formulasi pakan banyak berhubungan dengan variasi kualitas bahan baku secara fisik maupun kimia. Hal ini wajar karena bahan baku penyusun pakan merupakan bahan hasil pertanian, sebagian berupa limbah industri pertanian dan sebagian lagi berasal dari limbah hasil industri makanan. Variabilitas menjadi mutlak alami, tidak bisa dikendalikan tetapi bisa dimonitor untuk meminimalkan dampaknya. Bahan baku jagung menjadi penting untuk diperhitungkan variabilitasnya karena kebanyakan pakan unggas mempunyai basis jagung – bungkil kedelai. Porsi jagung 40 – 60% dalam formulasi. Dengan porsi tersebut, jagung menyumbang 65% dari kandungan energi (AME) dan 20% untuk protein dalam pakan broiler.

Variabilitas jagung dalam pakan

Sebuah pakem tentang cara menilai kualitas pakan yang sulit dihilangkan sejak dulu adalah warna pakan yang kekuningan pertanda banyak jagung, adalah yang dianggap baik. Peternak sering menilai kualitas pakan dari warna fisiknya. Porsi jagung yang cukup akan memberikan warna kuning keemasan karena kandungan karotenoid terutama lutein dan zeaxanthin. Visual warna ini dianggap lebih berkualitas. Menandakan jagung yang cukup akan memberikan konsistensi kualitas dan fisik yang lebih baik. Jagung secara alami memang disukai unggas sehingga akan meningkatkan konsumsi pakan dan mendukung performa produksi.

Jagung merupakan sumber energi utama dalam pakan unggas karena tingkat kecernaannya yang tinggi dan palatabilitas yang baik. Penggunaannya tidak melulu butir jagung tetapi juga mencakup bahan ikutan hasil pengolahan industri jagung. Total inklusinya bisa mencapai 65%, ini termasuk yang sudah umum digunakan seperti DDGS, CGM, CGF dan corn germ. Jagung sepenuhnya mengandalkan produksi lokal karena Pemerintah melarang importasi jagung.

Beberapa komponen nutrisi dalam jagung menjadikannya ideal sebagai bahan baku utama penyusun pakan unggas. Kandungan pati (starch) tinggi (65 – 72%) dan mudah dicerna, memberikan energi metabolisme yang tinggi (3300 – 3400 kcal/kg). Kandungan lemak 3-5% juga memberikan kontribusi pada tingginya ME jagung, dan kaya asam lemak tak jenuh seperti asam linoleat yang diperlukan untuk ukuran telur dan produksi telur. Kandungan serat kasar tergolong rendah (<2%) dan ini menguntungkan karena unggas memiliki keterbatasan untuk mencerna serat kasar dalam jumlah tinggi, dimana porsi jagung dalam pakan bisa mencapai >50%.

Kadar protein jagung berkisar 7 – 9% dengan kecernaan yang tinggi (>85%), di mana zein merupakan penyusun utama (40-50%) protein jagung. Zein rendah kandungan asam amino esensial khususnya lisin dan triptofan, tetapi tinggi asam amino non esensial seperti prolin dan glutamin. Protein jagung berkualitas rendah untuk memenuhi kebutuhan asam amino esensial, tetapi dengan daya cerna yang tinggi memberikan kontribusi yang signifikan sebagai sumber energi. Kontribusi nutrisi jagung lainnya antara lain kandungan beberapa vitamin seperti vitamin A, E dan B kompleks yang tinggi. Serta kaya akan karotenoid untuk mendukung pigmentasi kuning dan juga berfungsi sebagai antioksidan.

Meskipun jagung diperoleh lokal, faktor permintaan penawaran menyebabkan harganya fluktuatif. Keberadaan jagung dalam industri pakan sudah menjadi sangat strategis, karena gejolak harganya akan langsung berpengaruh terhadap harga pakan. Musim panen besar (kontribusi 50-60%) biasanya jatuh di bulan Januari – Maret terutama di daerah sentra jagung Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Lampung. Disusul panen kedua (30 – 35%) di periode April – Juni terutama berasal dari sentra jagung di Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Gorontalo. Beberapa panen kecil (10 – 15%) masih ada di periode September – November di daerah sentra jagung di Jawa Barat, Sulawesi Tenggara. Meskipun harga tinggi tetapi keunggulan nutrisi jagung menjadikannya tidak mudah untuk disubstitusi total dengan bahan baku alternatif lainnya.

Penyebab variabilitas nutrisi jagung

Sebagai bahan hasil pertanian dan dengan rantai proses panjang sejak dari penanaman, dipanen, dikeringkan dan disimpan maka jagung tidak lepas dari variabilitas. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya variabilitas antara lain genetik, lingkungan, budidaya dan penanganan pasca panen. Kombinasi dari berbagai faktor di atas menyebabkan perbedaan kualitas antara daerah asal (origin). Karakter fisik jagung impor (asal AS, Brazil) berbeda dibandingkan jagung lokal. Jagung lokal juga banyak jenisnya, seperti jagung hibrida, jagung komposit dan lain-lain.

Nilai nutrisi jagung dalam pakan unggas sangat ditentukan oleh komposisi kimia dan karakter fisiknya. Faktor lingkungan yang berpengaruh antara lain: kondisi curah hujan, jenis tanah, ketersediaan nutrisi tanah, ketinggian tempat, intensitas cahaya matahari, beban intensitas serangan hama dan penyakit.

Faktor lingkungan

Jagung membutuhkan intensitas curah hujan yang cukup selama fase vegetatif dan berbunga untuk mendukung pertumbuhan tanaman dan pembentukan biji. Apabila pada fase tersebut mengalami kekurangan air maka biji yang dihasilkan cenderung menjadi lebih kecil, keriput dan memiliki kandungan protein dan pati yang lebih rendah.

Intensitas cahaya matahari berpengaruh terhadap proses fotosintesis. Selama pertumbuhannya jagung membutuhkan intensitas cahaya yang cukup untuk mengakumulasikan pati di dalam biji. Apabila kekurangan cahaya maka kandungan pati akan berkurang dan hasil panen juga akan menurun.

Jagung membutuhkan suhu ideal sekitar 21 – 30 oC untuk pertumbuhan yang optimal. Suhu tinggi menyebabkan stres panas dan menurunkan kualitas biji akibat percepatan proses pengisian biji. Sebaliknya pada suhu rendah akan memperlambat proses pertumbuhan dan menurunkan hasil panen.

Jenis tanah apakah tanah dengan pH yang netral, asam atau basa serta kandungan air tanah akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Dengan sekian banyak faktor tersebut, jelaslah bahwa kualitas dan kuantitas jagung yang dihasilkan di suatu daerah bisa berbeda dengan daerah lainnya.

Faktor genetik

Varietas jagung mempunyai karakter genetik yang spesifik. Varietas ini berkembang melalui seleksi alam ataupun secara sengaja melalui pemuliaan tanaman untuk menghasilkan sifat – sifat yang diinginkan. Perbedaan yang berkembang akan mengarah pada perbedaan morfologi, serta kandungan nutrisi dan kemampuannya beradaptasi terhadap faktor lingkungan. Perbedaan morfologi akan mengarah pada bentuk dan ukuran biji yang berbeda. Juga warna biji sehingga ada dikenal jagung kuning, jagung putih bahkan berwarna ungu.

Tekstur biji di antara nya ditentukan oleh kandungan dan sebaran pati di dalam biji. Karakter tekstur biji merupakan sifat morfologi yang genetis, dan berdasarkan itu jagung dibagi menjadi 2 kelompok yaitu jagung keras dan jagung lunak. Karakter ini akan berpengaruh terhadap daya tahan selama proses pengolahan maupun kualitas nutrisinya. Jagung keras mempunyai kandungan protein lebih tinggi dan pati rendah. Sewaktu diproses biji keras ini akan lebih sulit digiling (grinding) sehingga efisiensi grinding bisa berkurang. Sebaliknya jagung lunak lebih mudah diproses tetapi lebih rentan terhadap serangan hama misalnya jamur sewaktu disimpan. Kekerasan biji dan densitas kernel jagung (berat jenis) tidak biasa diukur di lab, tetapi bisa mempunyai variasi yang cukup besar

Analisis fisik jagung

Dalam praktek penerimaan jagung, pemeriksaan terhadap karakteristik fisik mutlak dilakukan sebab mempunyai korelasi erat dengan komposisi kimia. Beberapa parameter fisik tersebut antara lain biji pecah (BC = broken corn), kontaminasi benda asing (FM = foreign material), biji jamur (moldy), kandungan air, berat jenis, mikotoksin (terutama aflatoksin). Setiap feedmill mempunyai batasan nilai yang berbeda untuk parameter tersebut. Kualitas jagung bisa dikelompokkan sebagai KW1, KW2 dan seterusnya berdasarkan parameter fisik.

BC adalah biji jagung pecah atau rusak selama proses panen, pengangkutan dan penyimpanan, sedangkan FM merupakan bahan asing selain jagung seperti tanah, pasir, debu, sekam, batu dan lain-lain. Persentase keduanya di dalam jagung perlu dibatasi sebab akan menurunkan kualitas jagung. BC mempunyai kandungan nutrisi yang lebih rendah akibat oksidasi lemak dan kerusakan fisik akan menurunkan kandungan protein. BC juga memudahkan pertumbuhan jamur dan infestasi hama (kutu) karena rusaknya lapisan pelindung luar. FM tidak mempunyai kontribusi nilai nutrisi.

Biji jamur (moldy) dinyatakan dalam % yaitu berat biji jagung yang ditumbuhi jamur dibagi 100 gr sampel. Cara perhitungannya sangat subyektif antara analis sehingga biasnya cukup tinggi. Infeksi jamur akan mengonsumsi nutrisi penting seperti pati, protein dan lemak sehingga menurunkan kualitas biji. Apabila yang menginfeksi adalah jamur dari spesies Aspergillus dan Fusarium berpotensi menghasilkan mikotoksin (aflatoksin, fumonisin) dan akan berbahaya bagi kesehatan unggas yang mengonsumsinya.

Kadar air jagung mutlak diukur sebelum jagung disimpan, saat dikeringkan atau sesudah dikeringkan. Jagung yang dikeringkan secara tradisional (jemur matahari) seringkali mempunyai kadar air yang bervariasi, apalagi dalam satu truk bisa berasal dari beberapa lokasi. Kadar air jagung yang ideal adalah 12 – 14%, tidak disarankan lebih dari 16% untuk disimpan lama dengan ventilasi yang buruk sebab beresiko ditumbuhi jamur, meningkatkan aktivitas mikroorganisme dan kerusakan biji. Jika terlalu kering (<10%) menyebabkan biji lebih rapuh dan meningkatkan jumlah material halus (berdebu).

Maize vitreousness

Parameter ini mengacu pada kekerasan endosperm biji jagung yaitu proporsi relatif (rasio) antara endosperm keras terhadap endosperm lunak. Jagung dengan proporsi endosperm keras lebih banyak dibandingkan endosperm lunak digolongkan sebagai vitreousness tinggi dan sebaliknya. Parameter kekerasan endosperm ini akan bervariasi dipengaruhi oleh asal jagung, jenis hibrida, pola tanam, penanganan pasca panen dan lain-lain. Correa et al (2002) membandingkan 5 jagung hibrida Brazil dan 14 jagung hibrida AS, menemukan tingkat kekerasan jagung hibrida Brazil 73,1% (64,2 – 80,0% sedangkan jagung hibrida AS tingkat kekerasannya 48,2% (34,9 – 62,3%). Pada umumnya jagung hibrida AS bijinya termasuk kultivar dent dan jagung Brazil kultivar flint.

Endosperm keras bersifat padat, kaya akan protein zein sedangkan endosperm lunak bersifat lebih rapuh, kaya akan pati. Vitreousness mempunyai korelasi erat dengan berat jenis jagung. Semakin banyak proporsi biji keras maka semakin tinggi kandungan pati zein dan amilosa nya. Jagung tipe ini mempunyai kualitas nutrisi yang lebih rendah karena struktur pati yang lebih sulit dicerna sehingga lambat dalam menghasilkan energi. Juga dengan kandungan phytat yang 20 – 30% lebih tinggi (Kaczmarek et al., 2013).

Variabilitas nutrisi utama

Nutrisi utama dalam jagung seperti pati, protein, asam amino (lisine dan methionine) ataupun anti nutrisi seperti phytat dan NSP (non-starch polisakarida) merupakan variabel – variabel yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Parameter nutrisi tersebut mempunyai sifat menurun yang cukup kuat sehingga bisa diarahkan melalui seleksi genetik.

NSP merupakan komponen serat kasar yang tidak dapat dicerna oleh sistem pencernaan unggas. Komponen utama dari NSP adalah arabinoxylan yang merupakan bagian utama dinding sel tanaman. Total kandungan NSP dalam jagung berkisar 8-12% dimana arabinoxylan mencapai 5-8%. NSP digolongkan sebagai anti nutrisi karena menghambat pencampuran enzim dengan senyawa pakan sehingga menurunkan efektivitas pencernaan dan penyerapan nutrisi.

Kandungan NSP berbeda menurut daerah asal nya. Jagung asal daerah sub tropis mempunyai kandungan NSP yang rendah dan jagung tropis kadar NSP nya lebih tinggi. Jagung hibrida mempunyai kadar NSP lebih rendah dibandingkan varietas lokal, karena sudah dilakukan seleksi untuk meningkatkan kandungan protein dan pati. Dalam penelitiannya membandingkan 16 jagung hibrida, Melo-Duran et al. (2021) menemukan variasi kandungan total NSP berkisar dari 5,56 – 8,13% dan soluble NSP 0,1 – 0,85%.

Kandungan NSP juga dipengaruhi oleh posisi biji jagung pada bonggol. Biji di bagian dasar dari bonggol cenderung mempunyai kandungan NSP yang lebih rendah tetapi lebih tinggi kandungan protein dan pati nya.

Praktek budidaya dengan menambahkan pupuk nitrogen juga berpengaruh terhadap kadar NSP. Penambahan pupuk N ke dalam tanah akan meningkatkan kadar protein dan pati sehingga NSP akan menjadi rendah. Variasi kandungan protein kasar jagung mendekati 5% yaitu dari kisaran 8 sampai 13% sedangkan variasi kandungan pati berkisar 2%. Pati terdiri atas amilosa yang lambat dicerna dan memiliki rantai glukosa linear dan amilopektin (lebih cepat memberikan energi dengan struktur bercabang). Rasio amilosa / amilopektin mempunyai peranan yang lebih besar dalam penyediaan energi dan nutrisi. Protein dan pati mempengaruhi tingkat kekerasan bagian endosperm dari biji jagung dan kelarutan protein.

Faktor proses pengeringan

Untuk pakan ternak dikenal jagung dengan kriteria jagung basah dan jagung kering. Selama di pohon kadar air jagung mulai mengalami pengeringan alami pada suhu 30 – 35oC. Jagung basah biasanya langsung dipanen dari ladang ketika biji sudah matang fisiologis dan kadar air biji jagung sudah mencapai 22-24% atau kurang dan dipipil untuk kemudian dikirim ke feedmill. Hanya feedmill atau peternak dan pengepul besar yang memiliki fasilitas pengeringan (drier) yang menerima jagung basah untuk dikeringkan.

Beberapa petani memanjangkan waktu panen nya (1-2 minggu) ketika cuaca mendukung untuk lebih menurunkan kadar air. Cara pengeringan alami dengan tongkol jagung masih di pohon bisa dilakukan dengan 2 cara. Cara pertama dengan batang di atas tongkol serta daun di bawah tongkol dipangkas untuk mempercepat pengeringan. Cara kedua, sama dengan cara pertama tetapi kelobot jagung dibuka sehingga terpapar langsung sinar matahari. 

Pengeringan secara tradisional dengan cara menjemur di bawah matahari lebih aman tetapi membutuhkan waktu panjang (7-8 hari) dan pekerjaan tambahan. Setelah jagung dipipil selanjutnya dikeringkan di lantai jemur di bawah sinar matahari hingga kadar air mencapai <15%. Sedangkan jagung yang dikirim langsung ke peternak unggas bisa mempunyai kadar air 17% dengan masa simpan yang terbatas.

Proses pengeringan dengan suhu tinggi berdampak negatif terhadap kualitas fisik biji jagung. Pengeringan cepat pada suhu tinggi memicu keretakan pada permukaan kernel (stress cracking) menyebabkan biji mudah pecah saat disimpan maupun digiling. Susut kadar air yang terlalu tinggi membuat biji jagung keriput sehingga ukurannya menjadi tidak homogen. Warna kilap biji jagung yang semula kuning cerah bisa berubah menjadi kusam sehingga terkesan sebagai jagung lama atau kualitasnya rendah. Warna juga bisa menjadi lebih gelap karena reaksi Maillard antara protein dan gula.

Suhu saat pengeringan berinteraksi dengan kadar air jagung pada saat di panen. Semakin tinggi kadar air jagung juga berdampak negatif terhadap kandungan pati dan denaturasi protein dimana reaksi Maillard akan menurunkan kecernaan nya. Kerusakan pati berupa terbentuknya pati teretrogradasi dimana pemanasan akan menyebabkan gelatinisasi kemudian saat didinginkan molekul amilosa dan amilopektin akan kembali ke bentuk semi kristal yang lebih sulit dicerna. Penelitian dengan mengeringkan jagung pada suhu 100 – 105 oC tidak berdampak terhadap berkurangnya kecernaan energi. Pada penelitian lain mengeringkan jagung sampai suhu 140 oC menyebabkan energi AME jagung berkurang sebanyak 100 kcal/kg disebabkan berkurangnya kecernaan pati dan protein.

Suhu pengeringan tinggi (120 oC) akan meningkatkan lebih banyak amilosa dalam pati (25,5%) dibandingkan pengeringan pada suhu 35oC (amilosa pati 21,5%). Pada jagung keras (hard endosperm) pengeringan pada suhu 120oC kandungan amilosa meningkat lebih banyak (21,3 ke 26,7%) dibandingkan jagung dengan kekerasan rata-rata (21,7 ke 24,2%).

Pada percobaan lain dengan pengeringan pada suhu 80oC ataupun 120 oC menurunkan tingkat kekerasan biji jagung (vitreousness), indeks kelarutan protein, meningkatnya kerusakan pati, total maupun NSP tidak larut, total dan arabinoxylan tidak larut, dibandingkan pada pengeringan 35 oC. Sebaliknya pada jagung keras (vitreousness 63,61%) yang dikeringkan pada suhu tinggi, tidak berpengaruh terhadap tingkat vitreousness dan NSP.

Dampak variabilitas terhadap formulasi pakan

Dalam formulasi pakan dan nutrisi unggas, jagung dikelompokkan sebagai sumber energi utama. Pada umumnya besaran energi berupa energi metabolis (AME) diperhitungkan berdasarkan hasil analisa proksimat nya yaitu protein, lemak, serat kasar, pati dan abu. Estimasi dengan cara ini belum memberikan jaminan akurasi yang tepat mempertimbangkan juga adanya kandungan senyawa anti nutrisi dan karakteristik dari jagung itu sendiri. Di antara kumpulan kedatangan jagung yang bebeda, tingkat variasi energi bisa berada di kisaran 100 – 150 kcal / kg.

Kandungan total NSP, NDF, ADF, Starch, AX dan A:X pada jagung dan produk ikutannya

Bahan bakuTotal NSP (g/kg)NDF (g/kg)ADF (g/kg)Patti (g/kg)AX (g/kg)A:X
Jagung818524625380,81
Corn gluten meal4912170120201,22
Corn bran3704061052112210,56
Corn bran with soluble17122751190950,58
Cooked corn DDGS20434592281080,83
Corn DDGS reduced oil250387143291430,79
Uncooked DDGS22030879521130,77
High protein DDG21931111882920,80
Corn germ meal4444621151642921,18
Corn gluten feed287275841111450,69
AX = arabinoxylan, A:X = rasio arabinose terhadap xylan
Sumber: Amy L. Petry and John F. Patience, 2020

Kualitas nutrisi dari jagung tidak hanya ditentukan oleh kandungan nutrisi nya (protein, pati dan lemak) tetapi juga oleh kandungan anti nutrisi (NSP dan phytat). Interaksi antara anti nutrisi tersebut dengan unsur nutrisi akan mempengaruhi ketersediaannya dalam proses pencernaan. Dengan banyaknya faktor yang menyebabkan variabilitas kandungan nutrisi khususnya proksimat dan anti nutrisi NSP serta phytat, maka umum dilakukan penambahan enzim untuk mengurangi variabilitas nutrisi jagung. Penambahan enzim xylanase, amilase, fitase dan protease selain membantu untuk mengurangi dampak negatif yang timbul akibat variabilitas jagung juga akibat proses pengeringan dan perlakuan jagung di proses produksi (grinding).

Amilase bekerja meningkatkan kecernaan pati karena amilase akan memecah pati menjadi gula sederhana yang lebih mudah diserap. Penggunaan enzim protease bertujuan memperbaiki kecernaan protein dimana enzim membantu memecah protein menjadi peptida dan asam amino yang lebih mudah diserap.

Jagung berkarakter biji keras mempunyai dinding sel yang didominasi arabinoxylan, di mana arabinoxylan membentuk semacam penghalang fisik yang mencegah kerja enzim endogen terhadap kandungan endosperm. Ini menghambat ketersediaan nutrisi sehingga perlu ditambahkan xilanase dan beta-glukanase untuk memecah struktur agar energi menjadi lebih tersedia,

Viskositas pakan yang meningkat sebagai implikasi dari penggunaan jagung berserat kasar tinggi perlu dikurangi dengan penambahan enzim xylanase dan beta glukanase. Dosis enzim harus tepat, disesuaikan dengan formulasi pakan (kombinasi bahan baku) dan kualitas jagung. Kombinasi beberapa jenis enzim bisa memberikan hasil yang lebih optimal, apabila pakan mengandung banyak bahan baku dengan kandungan serat / anti nutrisi yang tinggi.

Implikasi terhadap performa unggas

Percobaan (faktorial 3 x 2 x 2) pada ayam broiler Cobb 500 yang dipelihara sampai umur 42 hari dengan kombinasi perlakuan 3 jenis jagung hibrida (2 hibrida biji semi keras dan 1 hibrida biji semi dent / semi lunak), pengeringan suhu 80 dan 110 oC dikombinasikan dengan penambahan campuran enzim (amilase, xylanase dan protease). Ayam diberi pakan dengan tambahan campuran enzim memperlihatkan pertambahan berat badan umur 1 – 21 hari yang lebih baik dan pada umur 42 hari memiliki koefisien cerna yang lebih baik. Ayam dengan jagung yang dikeringkan pada suhu 80 oC mempunyai konversi pakan lebih baik di umur 1 sampai 42 hari.

Performan broiler diberi pakan perlakuan beda jagung hibrida, suhu pengeringan dan penambahan atau tanpa campuran enzim

Perlakuan1-7 hari1-21 hari1-42 hari
BWG,gFI, gFCRBWG, gFI, gFCRBWG, gFI, gFCR
Hibida
1117,5153,21,306797,31087,41,3642832,94575,4ab1,615
2117,7152,21,295793,41079,71,3622806,44552,4b1,623
3117,2151,81,297801,41095,51,3672862,64640,4a1,622
Suhu
80oC117,6153,01,305800,91096,2a1,370b2838,54603,91,622
110oC117,3151,71,294793,91078,7b1,359a2829,94575,31,617
Enzim
Dengan Enz119,4a151,21,267b812,3a1091,11,343b2843,64591,61,615
Tanpa Enz115,4b153,51,332a782,3b1083,01,386a2824,74587,91,625
SEM0,4600,8420,0092,6532,9680,0049,74914,5410,003
Sumber : Franciele C.N. Giacobbo, et al., 2021

Penambahan enzim amilase, xylanase dan protease memberikan efek positif terhadap morfologi jejunum (saluran pencernaan), mendukung bertambahnya populasi mikroba – mikroba yang menguntungkan dan sebaliknya menurunkan populasi Clostridia yang merugikan. Pengaruh ini (penambahan enzim) diduga lebih berperan dalam mempengaruhi proses pencernaan dan penggunaan nutrisi oleh broiler yang memperbaiki performa ayam, dibandingkan dampak jenis jagung maupun suhu pengeringan.

Dalam percobaan lain M.P. Williams et al (2018) mengukur pengaruh 6 jenis hibrida jagung yang berbeda dikombinasikan dengan atau tanpa penambahan enzim xylanase terhadap performa ayam broiler. Lama percobaan selama 41 hari, dengan 3 fase yaitu fase starter (hari 1 – 18), grower (hari 19 – 31) dan finisher (hari 20 – 41). Pada hari ke-18 berat badan nyata dipengaruhi oleh sumber jagung dan bervariasi antara 724 dan 764 g (p = 0,001) sedangkan pengaruh xylanase tidak konsisten.

Sebaliknya xylanase pada fase grower berinteraksi dengan sumber jagung dan menurunkan FCR. Pada fase finisher xylanase menurunkan FCR (1,943 vs 1,992). Sumber jagung hibrida yang berbeda mempunyai variasi nilai energi AME dengan selisih 176 kcal/kg pada hari ke 18 dan selisih AME 194 kcal/kg di hari ke 41. Penelitian ini menunjukkan bahwa variasi profil nutrisi jagung (beda hibrida) berdampak terhadap penggunaan nutrisi dan pertumbuhan ayam.

Solusi mengatasi variabilitas

Analisa NIRS yang dapat secara cepat dan murah memprediksi kandungan nutrisi (proksimat) merupakan andalan utama untuk menentukan kualitas jagung keseluruhan batch yang akan digunakan. Sebaran nilai kandungan nutrisi yang diperoleh menjadi dasar untuk menetapkan nilai nutrisi yang aman dan ekonomis untuk digunakan dalam perhitungan formulasi. Ataupun mendapatkan gambaran secara menyeluruh mengenai kualitas kimia jagung (batch jagung) yang diformulasikan untuk menambahkan (termasuk besaran dosis nya) serta memilih jenis enzim yang diperlukan untuk mengoptimalkan kualitas pakan yang akan dibuat.

Terhadap jagung yang berkualitas buruk secara fisik apakah disebabkan penyimpanan yang terlalu lama, kondisi penyimpanan yang tidak memadai atau proses pengeringan yang tidak merata, bisa dilakukan beberapa cara untuk meminimalkan risiko. Dengan cara diencerkan untuk mengurangi persentasenya, menghindari pemberian untuk ayam muda, menggunakan hanya untuk pakan yang diproses pelet untuk memperbaiki kecernaannya. Adalah penting menerapkan inspeksi penerimaan yang ketat dan teliti untuk bisa mengurangi masuknya jagung jelek yang bisa mencemari keseluruhan jagung di dalam silo. 

Daftar pustaka

  1. Amy L. Petry and John F. Patience. Xylanase supplementation in corn-based swine diets: a review with emphasis on potential mechanisms of action. Journal of Animal Science 98(11). September. 2020
  2. Correa, C.E.S., R.D. Shaver, M.N. Pereira, J.G. Lauer, and K. Kohn. Relationship between corn vitrousness and ruminal in situ starch degradability. J. Dairy Sci. 85:3008-3012. 2002.
  3. Edgar O. Oviedo-Rondon. Understanding corn variability. Proceedings of the Arkansas Nutrition Conference : Vol 2021,  Article 11. 2021.
  4. Diego Melo-Duran, et al. Using in feed xylanase or stimbiotic to reduce the variability in corn nutritive value for broiler chickens. Poultry Science 103:103401. 2024
  5. Jose I. Vargas, et al. Effect of corn origin on broiler performance, processing yield, and nutrient digestibility from 1 to 35 days of age. Animals, 13, 1248. 2023.
  6. Melo-Duran, et al. Maize nutrient composition and the influence of xylanase addition. J. Cereal Sci. 97:1031555. 2021
  7. Franciele C.N. Giacobbo, et al. Influence of enzyme supplementation in the diets of broiler chickens formulated with different corn hybrids dried at various temperature. Animal, 11, 643. https://doi.,org/10.3390/ani11030643. 2021
  8. Williams, M.P, H.V. Masey O’Neill, T. York and J.T. Lee. Effects of nutrient variability in corn and xylanase inclusion on broiler performance, nutrient utilisation, and volatile fatty acid profiles. Journal of Applied Animal Nutrition. Vol 6. 2018
Next Post

No more post

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Verified by MonsterInsights